Header Ads

Diduga Melakukan Pemerkosaan, Inilah Proses Hukum Yang Harus Dijalani Briptu II

 

tindak kriminal polisi

Pemerkosaan merupakan kejahatan dengan akibat yang tidak hanya dialami korban sendiri, akibatnya turut dirasakan juga oleh keluarga korban dan masyarakat umum. Kurun waktu belakangan perkosaan yang terjadi di Indonesia termasuk dalam statistik angka yang tinggi.

Polisi terlepas dari dirinya sebagai individu, merupakan teladan dan panutan dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi dalam realita kehidupan ada beberapa oknum Polisi yang melakukan pelanggaran ringan ataupun berat. Salah satu pelanggran berat itu adalah melakukan tindak pemerkosaan

Seperti halnya kasus yang terjadi di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Seorang gadis dibawah umur diduga diperkosa oleh oknum polisi berpangkat Brigadir Satu (Briptu) yang berinisial II. Kejadian tersebut terjadi pada jam 01.00 WITA. Mirisnya perbuatan tak pantas tersebut dilakukan di Mapolsek Jailolo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.



Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarkat. Maka sudah jelas oknum polisi sebagai pelaku pemerkosaan sepantasnya ditindak tegas dan diberikan hukuman setimpal dengan tindakan yang dilakukannya. Apa lagi hal ini juga telah merusak citra Polri di mata masyarakat.

Tetapi dalam pemberian sanksi ada beberapa proses hukum yang harus dijalani oknum polisi tersebut. Perlu diketahui dalam proses hukum kepada oknum polisi yang diduga melakukan tindak pidana pemerkosaan ada sedikit perbedaan dengan tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan masyarakat biasa. Oknum polisi yang terbukti melakukan tindak pidana maka akan dijerat dua sanksi, yaitu pidana umum dan kode etik profesi kepolisian.

Sebelum dilakukan proses peradilan umum akan dilakukan penyidikan. Dalam pelaksanaan penyidikan di kalangan kepolisian dilakukan oleh Polisi sendiri yang dilaksanakan oleh Penyidik Polri Reskrim.

Dalam PP Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksnaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada pasal 4 menyebutkan penyididkan terhadap anggota kepolisian Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur menurut hukum acara pidana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Dan Pasal 7 Ayat (1) menyebutkan bahwa penyidikan terhadap anggota kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu dilakukan oleh penyididk kepolisian Negara Republik Indonesia , kecuali dalam hal : Penyidik kepolisian negara Republik Indonesia menganggap perlu untuk melimpahkan kepada penyidik tindak pidana tertentu .

Setelah proses penyidikan dirasa cukup maka berkas perkara akan dilimpahkan ke badan hukum yang berwenang  menjalankan proses peradilan umum. Nantinya, hasil penyidikan tersebut akan menjadi bahan pertimbangan putusan hakim selain keterangan para saksi.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tambahan No. 4168. Pada dasarnya anggota Polri itu tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa proses  peradilan umum yang dijalani oknum polisi yang melakukan tindak pemerkosaan tidak berbeda dengan warga biasa. Hal ini juga berlaku pada asas praduga tak bersalah  sesuai Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

Seperti proses peradilan umum yang dijalankan masyarakat biasa, hakim akan meminta keterangan dari para saksi, korban serta pembelaan dari tersangka. Yang kemudian akan mejadi bahan pertimbangan putusan hakim bersama barang bukti dan hasil penyidikan. Jika oknum polisi  tersebut terbukti melakukan apa yang dituduhkan, maka oknum polisi tersebut dapat dikenakan pasal 285 KUHP yang berisi : “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Setelah proses peradilan umum selesai dan keputusan hukum pidana sudah memiliki kekuatan hukum tetap maka selanjutnya dilakukanlah proses peradilan Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Proses peradilan KEPP inilah yang menjadi pembeda antara oknum  polisi dan warga biasa dalam menjalani proses hukum tindak pidana. Pada dasarnya fungsi peradilan KEPP adalah untuk menentukan nasib oknum polisi yang terlibat pelanggaran hukum di institusi Polri.

Berdasarkan Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang dimaksud dengan Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan denngan perilaku maupun ucapan mengenani hal-hal yang diwajibkan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.

Dalam proses hukum di ranah KEPP, yang berwenang menjalankan adalah komisi KEPP. Bedasarkan Peraturan Polri No. 19 Tahun 2012 tentang susunan Organisasi dan Tata Cara Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas dan wewenang Komisi Kode Etik Profesi Polri (KEPP) melaksanakan pemeriksaan di persidangan, membuat pertimbangan hukum, dan memutuskan perkara pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP) yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap : a). Pelanggaran Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Profesi Polri. b). Pelangaran Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. c). Pelanggaran Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

Sebagai bahan pertimbangannya dalam memutuskan perkara pelanggaran KEPP,  Komisi KEPP berpedoman pada hasil putusan pengadilan umum. Hal itu sesuai dengan PP No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila dipidana penjara bedasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf a, bahwa sanksi administratif berupa rekomendasi pemberhentian tidak dengan hormat dikenakan melalui siding Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) terhadap pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat ) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Maka sudah jelas konsekuensi yang harus diterima Briptu II jika terbukti melakukan tindakan pemerkosaan. selain ancaman penjara selama 12 tahun, Briptu II juga terancam dikeluarkan dari intitusi Polri karena melakukan tindak pidana yang ancaman penjaranya lebih dari 4 tahun.

Peristiwa ini sangat disayangkan jika dilihat dari sisi korban  maupun  pelaku. Disisi korban, korban akan mengalami trauma psikis dan minder hal tersebut juga berdampak pada mental keluarga korban. Disisi pelaku sendiri, karirnya harus hancur karena kasus ini, yang mana menjadi seorang polisi tidaklah mudah.

Perlunya peran Polri agar kasus ini tidak terjadi lagi. Polri harus bisa mencegah masuknya oknum-oknum yang berpotensi melakukan kekerasan seksual ke dalam institusinya. Hal ini diperlukan untuk mepertahankan citra polisi sebagai pelindung dan pedoman bagi masyarakat 

No comments

Powered by Blogger.